Kekayaan dan keberagamaan kearifan lokal Indonesia dapat menjadi asset untuk mitigasi bencana Jakarta ( WartaMerdeka ) – Kementerian Lingk...
Kekayaan dan keberagamaan kearifan lokal Indonesia dapat menjadi asset untuk mitigasi bencana |
Jakarta (WartaMerdeka) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali gelar diskusi Pojok Iklim secara virtual (27/1), membahas tentang mengelola kearifan lokal menghindari bencana. Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia sehingga berdampak terhadap tingginya potensi bencana.
Bangsa Indonesia dengan beragam suku dan budaya yang disebut dalam kearifan lokal ini memiliki cara dalam menghadapi atau memitigasi bencana. Kesiapsiagaan masyarakat adalah kunci dalam menghadapi bencana dan biasanya terbentuk dari perilaku yang telah dijaga secara turun temurun. Cara tersebut menjadi satu budaya yang masih dipelihara oleh masyarakat lokal di setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia.
“Kebijakan-kebijakan publik kita harus didasarkan pada kearifan lokal yang telah hidup ratusan bahkan ribuan tahun agar tercipta ketahanan terhadap bencana, sehingga dapat menjadi bangsa Indonesia yang berkepribadian Nasional dan keanekaragamannya menjadi sumber kekuatan atau energi positif,” ucap Sarwono Kusumaatmadja.
Penyuluh Kehutanan Muda Provinsi Bali, Made Maha Widyartha, turut menyampaikan. untuk menjaga hutan dan alam Bali dengan "Nangun Sat Kerthi Loka Bali" menuju Bali bebas banjir menggunakan kearifan lokal yang dibungkus melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.24/2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut.
“Sebagai tindak lanjut dari peraturan Gubernur tersebut disusun petunjuk teknis yang lebih rinci tentang aplikasi dari kearifan lokal, yaitu sosialisasi di lapangan agar masyarakat lebih paham, mengerti dan mudah dalam pelaksanaan. Hal ini telah memberikan dampak yang cukup kepada alam dan hutan di Bali namun implementasinya perlu lebih ditingkatkan dan dapat melibatkan pihak yang lebih luas,” tambah Made.
Sementara Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat/Jabar, Eyang Memet di paparannya menyebut, amanat atau pesan leluhur Sunda dapat disinergikan dengan masa kini. Pesan leluhur Sunda berisi wejangan dan anjuran memanfaatkan ruang secara bijaksana dan memelihara lingkungan. Eyang mamet mengajak generasi muda untuk bersama-sama merapatkan barisan dan melepaskan ego sektoral masing-masing untuk mengembalikan daya dukung lingkungan sebagaimana para leluhur amanatkan.
“Setiap budaya Indonesia mempunyai kearifan lokal dalam mengelola alam. Ada keyakinan bahwa apa yang dilakukan sekarang akan berpengaruh pada kehidupan generasi mendatang. Dalam mengelola alam, tidak hanya perlu pintar, tapi perlu kearifan lokal”, terang Eyang Memet.
Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat, Kabupaten Sukabumi, Jabar, Maman Suparman, mengurai soal pelestarian tidak cukup melalui kegiatan konservasi. Tetapi juga harus dibarengi dengan rekayasa sosial, melibatkan segenap pemangku kepentingan termasuk kaum milenial melalui kegiatan ekonomi kreatif berbasis sumber daya lokal pedesaan dan sistem pertanian berkelanjutan.
Dari Penyuluh Kehutanan Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, Agus Romadhon, mengutarakan upaya terobosan dalam menghadapi problematika pertanian tembakau di kawasannya yang menimbukan erosi dan sedimentasi serta bencana di bagian hilirnya. Agus menjawab tantangan petani Temanggung dengan agroforestry dipadukan tanaman tembakau dengan kopi arabika dan pohon suren, karena bisa memberi nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat, serta berdampak positif pada kelestarian lingkungan dengan terkendalinya erosi dan perbaikan struktur tanah.
Tak ketinggalan Tenaga Ahli Menteri Bidang Analisa Strategis Akuntabilitas Politik dan Publikasi, Eka Widodo Soegiri menanggapi dari 4 sudut pandang, yaitu penyuluhan, Konservasi Tanah dan Air (KTA) dalam konteks pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), sosial ekonomi dan pengendalian perubahan iklim. Dari keempat sudut pandang tersebut, satu kata dapat diangkat menjadi kebijakan, yaitu “Glokalisasi”, membuat desain yang global diimplementasikan dengan kearifan lokal (ma).
Foto: Dok. Kemenparekraf