Jakarta (WartaMerdeka) – Kasus pencurian ikan di perbatasan negara serta nasib anak buah kapal (ABK) di kapal asing yang sering tak manusiawi, menjadi
Bakamla RI saat periksa kapal asing ketika memasuki Perairan Indonesia |
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Basilio Dias Araujo mengatakan, Webinar ini dihadiri perwakilan dari berbagai Kementerian Lembaga (K/L) terkait dan negara-negara Asia Tenggara, baik unsur pemerintah dan non-pemerintah dengan kepentingan sama, yaitu perangi penangkapan ikan ilegal atau dikenal dengan Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUUF).
Dengan adanya kerja sama regional dan penguatan kapasitas nasional, bisa meminimalkan kerugian ekonomi dan dampak multi-efek akibat IUUF serta kegiatan ilegal di sektor perikanan tangkap tersebut. IUUF tak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan beberapa negara Kawasan Asia Pasifik mengakui, IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan.
“Kita sudah petakan kesalahan pelaku perikanan tangkap illegal dan kegiatan illegal di sektor perikanan ini, ternyata sangat bervariasi. Mulau dari transfer tanpa ijin, dokumen palsu, tangkap ikan dengan gears terlarang, gunakan bahan peledak, ABK tidak di-sijil (diberi sertifikat) dan pelanggaran keimigrasian juga tenaga kerja asing yang tidak punya izin kerja,” jelas Basilio.
Bahkan, lanjut Basilio, tak dipungkiri masih ada beberapa pekerjaan rumah permasalahan mendasar soal illegal fishing, baik di dalam negeri maupun regional. Misalnya, ketidakpastian/ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut, pemahaman berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi penerapan berbagai aturan terkait, diskriminasi pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar.
Belum lagi adanya persekongkolan berindikasi korup antara pengusaha lokal, pengusaha asing, dan pihak peradilan yang berakibat pada berlarut-larutnya proses peradilan terhadap pelanggarnya itu sendiri.
“Perlu samakan pemahaman dan definisi yang jelas terkait pelindungan pelaut dan ABK di tingkat nasional kita. Sehingga ratifikasi konvensi dan perjanjian internasional menjadi penting. ke depannya, kita dapat turunkan menjadi landasan hukum bagi para Penegak Hukum dan Hakim Perikanan untuk putuskan persoalan hukum terkait Illegal Fishing,” terang Basilio.
Sementara Marzuki Darusman, Chair of Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)- suatu Lembaga think-tank pemerhati isu-isu HAM mengatakan, berbagai persoalan IUU Fishing yang dihadapi sejumlah negara saat ini perlu diselesaikan secara holistik. Sedangkan perwakilan dari beberapa negara ASEAN sepakat untuk lebih efektifkan mekanisme ASEAN dan memenuhi berbagai komitmen regional dalam konteks pelindungan pelaut dan ABK serta implementasi HAM.
Basilio menyebut kerugian negara akibat perikanan tangkap ilegal di perairan Indonesia hingga USD$4 miliar per tahun atau setara Rp56,13 triliun. Sementara estimasi kerugian praktik illegal, IUU fishing mencapai USD$15,5 miliar sampai USD$36,4 miliar dari 11-26 juta ton ikan yang ditangkap. "Khusus di wilayah Samudera Pasifik, mencapai 4-7 juta ton per tahun dengan nilai USD$ 4,3 miliar hingga USD$ 8,3 miliar," ungkapnya.
Pada masa mendatang, Kemenko Marves terus mendorong penyusunan rekomendasi kebijakan terutama perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap aspek HAM berdasarkan the UN Guiding Principles on Business and Human Rights and the 2030 Agenda (ma).
Foto: Dok. Bakamla