"Salah satu faktor kunci pengembangan usaha hutan berbasis masyarakat yaitu pendampingan di lapangan dan peningkatan kapasitasnya. Ini akan membuat po
Penguasaan mata rantai usaha hasil hutan bukan kayu harus dipahami petani |
Panjangnya rantai usaha hutan berbasis masyarakat kerap menjadi penyebab nilai ekonomi yang diterima masyarakat jadi timpang. Pendekatan pasar (market driven approach) memberi solusi atas problema ini. Model pendekatan seperti ini tengah dikembangkan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bersama Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4).
Market Access Players (MAP) memotong mata rantai perantara. MAP, bisa berupa organisasi atau perusahaan, bekerjasama langsung dengan masyarakat dan menghubungkan produk hasil hutan ke pembeli berskala besar. Mereka juga melakukan pendampingan dan pengembangan kapabilitas masyarakat sekitar kawasan hutan.
Manager Stakeholder Engagement MFP4, Hening Parlan menjelaskan, pendekatan pasar dari MFP4 memiliki tiga prinsip, yaitu kelestarian hutan, kesejahteraan komunitas dan keberlanjutan usaha. Model ini menjadi salah satu pendekatan yang mampu memberikan jawaban atas kegelisahan bisnis kehutanan di masyarakat.
“Dengan merespon terhadap kebutuhan pasar yang jelas, produksi hasil hutan akan sesuai dengan tren pasar dan kebutuhan pelanggan. Model ini memastikan bisnis bersifat keberlanjutan dan memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan,” papar Hening.
Ketua Paguyuban Bukit Seribu Sudarmi menambahkan, pendekatan pasar mampu memberikan perbedaan dimana harga jual kayu kelompoknya mendapatkan harga yang optimal dan merata. Dia juga mengungkapkan anggota kelompoknya begitu terbantu dengan fasilitasi dan pendampingan yang diberikan.
"Untuk pemasaran kayu, kini tidak menjadi masalah karena ada fasilitasi. Jadi sekarang tidak berhubungan langsung dengan pembeli. Melainkan melalui koperasi, sehingga harga jualnya rata dan akan memberikan manfaat yang lebih besar pada kelompok," kisahnya.
Paguyuban Bukit Seribu merupakan wadah komunikasi kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Gunungkidul. Menurut Sudarmi, sejak mendapat izin pada 2007, anggotanya bisa meraih panen kayu jati pada 2019. Pada tahun ketiga ini, ada 12 kelompok yang siap melakukan pemanenan, yang diatur satu kelompok tiap bulannya.
Menanggapi hal tersebut, Misran mengemukakan terbitnya UU Cipta Kerja, dalam perizinan berusaha memungkinkan pemegang izin melakukan multi usaha/bisnis kehutanan. Tidak semata menanam kayu saja. Jadi, skema multibisnisnya diatur dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT), baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Ke depan, sambung Misran, beragam bisnis seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) akan terus berkembang. Apalagi sekarang bisnis ini menjadi sesuatu yang legal sesuai dengan ketentuan regulasi Pemerintah (ma).