Jakarta (WartaMerdeka) – “Masih ada suatu ketidakadilan yang sering dialami perempuan terutama di sektor informal dan ketidaksetaraan dalam pengakuan
![]() |
Dampak pandemic Covid-19 memperparah peran perempuan dalam berkiprah |
Soal peran perempuan dibahas dalam Diskusi Pojok Iklim secara virtual (7/4), dengan “Gender, Konservasi Lingkungan dan Perubahan Iklim”. Ayu menyampaikan, dalam lingkungan hidup dan kehutanan, sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dan pertanian karena dasar negara Indonesia adalah negara agraris yang membutuhkan perempuan untuk mengambil alih pekerjaan di sektor tersebut.
Oleh karenanya, lanjut Ayu, pengarustamaan Gender sudah masuk ke dalam Rencana Strategi KLHK, mewarnai proses bisnis KLHK, peraturannya dan menjadi nafas dari setiap personil di KLHK untuk menjalankan tugasnya memberdayakan masyarakat dan menjaga lingkungan.
Pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi mengutarakan, “hubungan yang inheren antara kemiskinan, kebermanfaatan biodiversitas dan gender serta implikasi simultan dari rangkaiannya membutuhkan pendekatan yang multidisiplin dan holistik serta pemahaman gender untuk dapat mencapai hasil berkelanjutan serta bisa membawa kita semua untuk mewujudkan usaha konservasi lingkungan dan upaya pengendalian perubahan iklim yang inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan.”
Sementara dosen, peneliti dan pelukis, Dewi Candraningrum menjelaskan, krisis iklim yang ditandai dengan adanya kerusakan ekologi dan terjadinya zoonosis merupakan pemicu dari lahirnya pandemi Covid-19. Pandemi tak hanya merupakan krisis kesehatan, tetapi juga krisis sosial, ekonomi, politik, budaya dan terlebih krisis gender, sehingga memperparah jurang ketidakadilan gender.
Jutaan perempuan berisiko kehilangan kapasitas untuk merawat keluarga, terganggu hak dan kesehatan reproduksi dan seksual serta kesehatan keluarga dan anak-anaknya. “Krisis iklim menunjukkan kepada kita, reproduksi sosial dan regenerasi kehidupan kapitalisme seharusnya berubah karena pandemi juga melahirkan resesi ekonomi yang terburuk dalam sejarah kapitalisme. Kapitalisme tidak serta merta lagi mengekploitasi lingkungan dengan tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” urai Dewi.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari, Monica Tanuhandaru menyebut, saat ini diperlukan solusi terintegrasi yang bisa menjawab isu global yang terjadi dengan tetap memperhatikan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Agroforestri bambu yang melibatkan kelompok ibu-ibu menjadi solusi iklim dan ekonomi terintegrasi dalam satu bentang alam sekaligus menjawab tantangan lingkungan hidup dan kehutanan.
Monica merekomendasikan pengarustamaan gender dalam rehabilitasi hutan dan lahan, seperti menjamin perempuan dan/atau kelompok perempuan dapat memperoleh izin pengelolaan perhutanan sosial serta mendorong pengintegrasian gender dalam implementasi dan setiap tahapan bisnis perhutanan sosial.