Salah satu pulau dari Kepulauan Seribu, Jakarta, kini miliki teknologi untuk mengolah sampah plastik dan mengubahnya menjadi Energi Baru Terbarukan (E
Terobosan penting dari pegiat lingkungan di Pulau Pramuka untuk kelola sampah |
Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sampah plastik karena jumlah dan fraksinya terus meningkat. Ini sebagian besar dihasilkan dari barang-barang plastik sekali pakai seperti kantong plastik, kemasan plastik fleksibel (sachet dan pouch), sedotan plastik, dan wadah busa plastik (styrofoam). Pada 2005 fraksi sampah plastik sebesar 11%, namun saat ini fraksi tersebut meningkat signifikan menjadi 15,7-18,5%.
Indonesia miliki 5 strategi dan rencana aksi pengurangan sampah plastik dalam jangka panjang, yakni (1) meningkatkan gerakan nasional untuk mengelola sampah secara komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan didukung regulasi di tingkat nasional dan daerah, (2) pengelolaan sampah baik di darat, laut dengan intensitas tinggi, peningkatan teknologi serta partisipasi masyarakat; (3) meningkatkan pengelolaan sampah plastik, termasuk pencemarannya di laut dari kegiatan perikanan, transportasi, tempat dan kegiatan wisata, serta dari permukiman, khususnya di kawasan pesisir; (4) perkuat pembangunan kapasitas kelembagaan, keuangan, pengawasan dan penegakan hukum; serta (5) penelitian dan pengembangan guna mendorong inovasi dan meningkatkan teknologi.
Baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Pusat Kajian Kebijakan Strategis (Pusjakstra) meninjau langsung salah satu contoh aktivitas masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang memanfaatkan teknologi mengolah sampah plastik sebagai BBM Solar. Ini masuk dalam wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III, Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Kepala Pusjakstra KLHK, Herry Subagiadi saat berdiskusi dengan masyarakat pegiat lingkungan dari komunitas Rumah Literasi Hijau/RLH di Pulau Pramuka menyampaikan, kedatangannya untuk melihat langsung dan mendengar cerita pemanfaatan sampah plastik menjadi BBM. Dirinya berharap dari kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi nelayan dan kedepannya agar dapat menghasilkan listrik di pulau lainnya di Kepulauan Seribu.
Hjh. Mariyah, seorang guru dan inisiator Rumah Literasi Hijau menjelaskan, dirinya sejak 2009 telah berkegiatan dan mengajak masyarakat untuk turut serta menjaga lingkungan. Kemudian, sejak 2 tahun terkahir, RLH mendapatkan bantuan alat mesin Pirolisis yang dapat mengubah sampah plastik menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa solar.
Teknologi ini menurut Hjh. Mariyah sangat sederhana dan memungkinkan orang awam untuk cepat mempelajarinya. Teknologi Pirolisis ini juga tidak perlu listrik yang besar dan tempat luas, sehingga limbah plastik dapat dikelola bahkan menjadi manfaat. "Hasil uji lab yang kami lakukan sebanyak 3 kali di 2 laboratorium berbeda, hasilnya adalah BBM yang dihasilkan relatif stabil dan bisa mengoperasikan mesin 2 tak seperti chainsaw," papar Mariyah.
Menurut Pertamina, Pirolisis adalah proses dekomposisi suatu bahan pada suhu tinggi yang berlangsung tanpa adanya udara atau dengan udara terbatas. Proses dekomposisi pada pirolisis ini juga sering disebut dengan devolatilisasi. Pirolisis atau bisa disebut thermolisis adalah proses dekomposisi kimia menggunakan pemanasan tanpa kehadiran oksigen.
Proses pirolisis menghasilkan produk berupa bahan bakar padat yaitu karbon, cairan berupa campuran tar dan beberapa zat lainnya. Produk lain adalah gas berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan beberapa gas yang memiliki kandungan kecil. Hasil pirolisis berupa tiga jenis produk yaitu padatan (charcoal/arang), gas (fuel gas) dan cairan (bio-oil).
Masyarakat pesisir perlu memahami cara mengelola ekosistem laut dengan baik |
Disamping membahas soal EBT, rombongan dari KLHK juga melakukan penanaman Mangrove di Pulau Karya (25/5), Kepulauan Seribu. Sebanyak 210 bibit Mangrove dibagi dalam 3 kelompok tanam. Diharapkan Mangrove yang ditanam kali ini dapat terpelihara dan tumbuh dengan baik.
Fungsi ekologi mangrove sangat penting untuk habitat dan berkembang biak biota laut. Melimpahnya ikan dan satwa laut lainnya dari ekosistem mangrove yang baik, akan mendatangkan pendapatan tambahan bagi para nelayan. Mangrove pun berfungsi sebagai pemecah gelombang laut, mencegah abrasi pantai dan intrusi air laut. Fakta lainnya, mangrove dapat menyerap karbon dalam jumlah besar. Luas 1 Ha hutan mangrove bisa serap 1.000 ton lebih karbon, lebih banyak daripada hutan alam biasa (ma).