Jakarta (WartaMerdeka) – “Kita telah memasuki era pandemi Covid-19. Maka para penyair di Indonesia dan di Asia Tenggara juga sudah membuat buku kumpul
![]() |
Gagasan puisi bisa lahir dari konteks suasana yang dialami pada zamannya |
Menurut Denny, tragedi adalah ibu kandung dari karya-karya sastra besar. Di era tragedi itulah, apalagi tragedi yang panjang, lolongan tragedi manusia terdengar sekeras-kerasnya. Itulah sebabnya, Perang Dunia II banyak melahirkan film-film pemenang Oscar. Perang Vietnam menghasilkan puisi, balada, dan lagu-lagu yang menyentuh.
Dalam obrolan rutin yang digelar Perkumpulan Penulis SATUPENA-HATI PENA setiap hari minggu siang, kali ini menghadirkan lebih dari 30 penyair dan penulis dari berbagai latar belakang profesi. Ada dosen, wartawan, diplomat, jenderal purnawirawan, pengusaha, aktivis sosial, dan sebagainya.
Tampak juga penyair senior D. Zawawi Imron, penerima penghargaan The SEA Write Award, Bangkok (2012), Fakhrunnas MA Jabbar, penerima National Writer’s Award SATUPENA kategori fiksi (2021). Jadi, Denny percaya, era pandemi banyak melahirkan novel-novel besar.
Seperti novel karya dua pemenang hadiah Nobel Sastra. Pertama, novel “Love in the Time of Cholera” karya Gabriel Garcia Marquez, terbit 1985. Ini berisi kisah cinta di tengah pandemi kolera. Kedua, novel karya Albert Camus, “The Plaque” (wabah). Oleh Albert Camus, setting pandemi kolera tahun 1849 dipindahkan konteksnya ke 1940-an, untuk menghasilkan karya novel yang absurd.
![]() |
Buku “Katakan Selamat Tinggal Kepada Corona” karya bersama cerpenis dari Indonesia, Malaysia dan Australia |
Foto: Istimewa