“Perjuangan demi kesetaraan gender bukan cuma perjuangan kaum wanita, tetapi juga perjuangan manusia,” ujar Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis
Peran perempuan masih sering diperdebatkan dikaitkan dengan agama yang diyakininya |
Diskusi ini digelar oleh SATUPENA, sekaligus menanggapi pembicara utamanya Lies Marcoes, penulis buku “Merebut Tafsir” dan Direktur Rumah Kitab. Diskusi virtual dihadiri lebih dari 30an peserta ini dipandu Amelia Fitriani dan Anick HT.
Berbicara soal kesetaraan gender, memang seperti tak ada ujungnya. Bahkan, Denny menyoroti persoalaan gender hingga ke soal kesejahteraan masyarakat di sebuah negara. Menurutnya, kian miskin atau tidak sejahtera suatu negara, semakin agama dianggap penting oleh populasi di negara itu. Demikian hubungan antara arti penting agama dengan tingkat ekonomi atau kesejahteraan suatu nergara, menurut hasil survei Gallup 2009 terhadap 150 negara.
Jadi, jika yang menghalangi kesetaraan gender di ruang publik adalah struktur sosial, maka struktur itu harus diubah. “Sedangkan, jika yang menghalangi adalah teks agama atau tafsir kitab suci, maka tafsir itulah yang harus direbut,” jelas Denny.
Di negara-negara yang kesejahteraannya sudah tinggi, seperti Denmark atau Swedia, upaya merebut tafsir agama itu tidak terlalu dianggap penting. Ini karena penegakan HAM, kesetaraan gender, sudah kukuh di konstitusi, undang-undang, dan kultur.
Sebaliknya, di negara-negara yang pendapatan per kapitanya rendah, seperti Banglades di Asia atau Burundi di Afrika, merebut tafsir agama itu sangat penting. Ini karena dengan merebut tafsir itu kita bisa merebut ruang publik lewat agama (lw).
foto: istimewa