Dalam lembar sejarah Indonesia, peran karya tulis sejumlah tokoh yang dituangkan dalam bentuk buku, ikut berperan. Jadi, di samping mewarnai tinta sej
Peran Buku Masih sangat penting untuk kemajuan sebuah bangsa |
Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, membahasnya pada acara webinar Obrolan Hati Pena #14 di Jakarta (21/11). Webinar ini mendiskusikan 100 buku yang memperkaya sejarah bangsa Indonesia. Pembicara di webinar adalah dua anggota tim ahli, yang turut menyeleksinya. Yakni: Manuel Kaisiepo (kategori non-fiksi), dan Nia Samsihono (fiksi).
SATUPENA sudah memutuskan untuk menerbitkan kembali 100 buku yang memiliki nilai sejarah, dibagi dalam empat zaman. Yaitu: 14 buku era kolonial ( sampai 1944), 24 buku era Orde Lama (1945-1966), 54 buku era Orde Baru (1967-1997), dan 8 buku era Reformasi (1998-sekarang). Mengapa begitu penting untuk menerbitkan kembali buku?
“Buku merupakan mesin yang paling efisien, lengkap, sempurna, dan paripurna. Buku telah merekam begitu banyak sejarah dan ilmu pengetahuan, sehingga bisa ditularkan dari individu ke individu lain, dari masyarakat ke masyarakat lain, dan diwariskan dari satu zaman ke zaman lain,” jelas Denny.
Tradisi mencatat atau merumuskan buku-buku bersejarah yang berpengaruh sudah berlangsung lama. Menurut Denny, setidaknya ada tiga tradisi: The Western Canon, rumusan Library of Congress di Amerika, dan tradisi penentuan 100 buku yang paling berpengaruh dalam sejarah. “Ini menginspirasi Satupena,” ujarnya.
Denny JA |
Ada tiga buku dianggap paling berpengaruh dalam sejarah dunia. Yakni, buku “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” karya Isaac Newton, “On the Origin of Species” karya Charles Darwin, dan “Don Quixote,” novel karya Miguel de Cervantes.
Sedangkan beberapa buku yang dipilih SATUPENA antara lain, Di bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno (1959), Renungan Indonesia dari Sutan Sjahrir (1947), Demokrasi Kita karya Bung Hatta (1963), serta Habis Gelap Terbitlah Terang (1922) karya RA Kartini (dh).
Foto: istimewa