Ketika Muhammad Soeparno menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia pada 1988 – 1992, diterapkan kewajiban bagi seluruh karyawan memakai pakaian
Garuda Indonesia di masa lalu memiliki aset pesawat sendiri |
Latar belakang pemasangan pin itu, karena kurangnya antusias pegawai terhadap pekerjaannya. Terkesan berjalan apa adanya, kurang solid serta kurang rasa kebanggaan terhadap perusahaan tempat mereka mencari nafkah. Padahal rasa bangga itu sangat diperlukan sebagai cermin loyalitas dan rasa syukur serta memberi pengaruh pada hasil yang baik, terutama dalam persaingan pelayanan kepada pelanggan.
Atribut pin bagian dari sosialisasi Budaya Perusahaan. Agar setiap individu di Garuda mempunyai kebanggaan akan pekerjaannya. Setiap individu di Garuda mempunyai peranan penting, tidak sektoral. Mengapa demikian? Karena di Garuda terdapat banyak unit kerja yang berbeda keahlian dan latar belakang pendidikannya. Bagaimana agar para pilot, awak kabin, teknisi pesawat, staf pelayanan darat (ground handling), unit pemasaran, akuntansi dan kepegawaian dapat berinteraksi berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik. Itulah makanya kemudian diterapkan Corporate Solidarity.
Budaya perusahaan ini terus digaungkan dan ditanamkan kepada seluruh karyawan, termasuk yang harus dihafal oleh setiap karyawan adalah “10 Citra Manusia Garuda”. Lagi-lagi ada yang unik disini butir 1 sampai 9 adalah sudah normatif menjadi hafalan semua Budaya Perusahaan dimanapun. Namun yang menarik di Garuda -dan jarang ada ditempat lain- adalah Citra nomor 10, yaitu “Memiliki Daya Tahan.”
Yang ingin saya garis bawahi bahwa pada periode itu, Garuda Indonesia tak punya masalah keuangan. Karena dibawah kepemimpinan Wiweko Soepono kemudian RJ Lumenta sebelumnya, tidak ada warisan hutang bahkan justru meninggalkan kekayaan berlimpah, mulai kepemilikan pesawat modern seperti halnya perusahaan penerbangan dunia ketika itu, yakni Boeing 747, Airbus-300, DC-10, DC-9 dan Fokker F-28. Kemudian beberapa Hotel Bintang 5 di Bali dan Lombok serta tanah dan bangunan diberbagai daerah dihampir semua kota yang disinggahi Garuda Indonesia.
Namun sekarang, pesawat tersebut sudah dijual karena sudah out of date, dan peremajaan melalui pengadaan leasing. Sedangkan hotel-hotel serta tanah dan bangunan sebahagian besar sudah dijual. Termasuk tanah dan bangunan di jalan Merdeka Selatan yang kini menjadi kantor Kementerian BUMN itu sebelumnya milik Garuda Indonesia ditempati sebagai kantor pusatnya. Setelah tidak berkantor disitu, kantor pusat Garuda pindah ke lokasi Bandara Soekarno Hatta dengan cara sewa kepada Angkasa Pura II hingga saat ini.
Ketahuilah, Garuda sejak berdiri tidak pernah monopoli, karena Garuda terbang pada jalur International harus bersaing dengan penerbangan asing dan semua pembiayaan dilakukan oleh Garuda sendiri tanpa penyertaan Pemerintah. Namun sejak krisis moneter 1998 hingga saat ini, Garuda sering terdengar kesulitan keuangan, dan berulangkali pula para Menteri Keuangan yang menjabat selalu menolak membantunya. Namun akhirnya dibantu juga.
Sebagai flag carrier, keberadaan Garuda Indonesia wajib dipertahankan |
Garuda memang tidak mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana airlines asing diatas. Namun patut dicatat bahwa pemerintah berulangkali sering memberikan suntikan dana, sebagai penyertaan modal atau sebagai dana talangan atau juga meminta BUMN lain seperti Pertamina, Angkasa Pura dan Perbankan BUMN untuk membantunya.
Persoalan pokok semua penerbangan dunia adalah hal tersebut diatas. Persoalan rendahnya margin akibat ketatnya persaingan pada rute International. Terutama rute jarak jauh antar benua yang harus dilayani pesawat berbadan besar, agar menjadi direct flight alias nonstop flight sesuai permintaan pasar. Namun risikonya adalah biaya tinggi disatu sisi dan seat optimalization disisi lain. Kuncinya adalah pada penerapan harga. Karena itu semua penerbangan menerapkan Revenue Management System (RMS). Penerbangan yang menerapkan RMS akan memiliki banyak ragam harga, terutama pada kelas Ekonomi. Harga berjenjang dengan berbagai ketentuan. Semakin mahal harga semakin fleksibel, semakin murah semakin banyak restriksinya. Tujuannya agar dua kepentingan terpenuhi. Kepentingan penumpang disatu sisi ada yang membutuhkan fleksibilitas ada pula yang membutuhkan harga murah sekalipun banyak restriksi. Kepentingan penerbangan adalah pesawat terisi penuh dan terpenting melewati garis break event point.
Menghadapi situasi pandemi saat ini, tantangan penerbangan semakin berat, karena operasional penerbangan sebahagian besar harus dihentikan. Karena itu sumber pemasukan pendapatan semakin sedikit dan patut dihargai bahwa Garuda masih dapat bertahan dalam siatusi turbulensi ini yang harus dicegah jangan sampai “crash landing”.
Awak kabin Garuda Indonesia pernah lima kali berturut-turut dapat pengakuan dunia |
Foto: istimewa