suatu tugas hajatan, saya pernah disuruh ngurus jasa pawang hujan. Saya sebetulnya ogah. tapi karena sudah ditunjuk jadi panitia, terpaksalah. Nah, s
Salah seorang pawang hujan di ajang MotoGP Mandalika |
Orangnya berpenampilan biasa saja. Usia mungkin 40-an, pakai peci agak lusuh. Ketika ketemu dan sudah deal transaksi, saya penasaran bertanya: Sebetulnya apa sih hal konkret yang dia lakukan untuk mencegah/mengalihkan hujan?
Karena si pawang itu Muslim, dia menjawab bahwa yang dia kerjakan adalah beribadah (solat) dan membaca doa-doa tertentu secara Islam, agar hujan tidak jatuh di hari-H dan Jam-J saat acara berlangsung.
Maka saya simpulkan sendiri, jika si pawang kebetulan non-muslim, kemungkinan dia juga cuma akan melakukan ritual keagamaan atau doa-doa, menurut agama dan kepercayaannya. Tidak ada hal konkret lain. Jadi ini betul-betul soal “iman” saja…
Nah, jika ini memang semata-mata soal “iman,” kenapa orang yang punya hajat tidak berdoa saja sendiri? Mengapa seperti tidak percaya diri? Mengapa menggantungkan diri pada “keampuhan” doa orang lain (pawang hujan)?
Bukankah semua manusia bisa dan boleh berkomunikasi langsung dengan Tuhan? Bukankah tak perlu perantaraan pawang? Belum tentu juga doa si pawang lebih “ampuh” dan didengar Tuhan ketimbang doa kita sendiri!
BPPT juga melakukan teknologi modifikasi cuaca cegah hujan |
Ini yang disebut rekayasa hujan buatan, dan ini bukan barang baru buat lembaga seperti BPPT dengan teknologi modifikasi cuaca untuk mencegah hujan. Sehingga dengan terjadinya hujan di kawasan A, maka awan hujan itu tidak menjadi hujan di kawasan B.
Tetapi ongkos pembuatan hujan buatan ini tentu jauh lebih mahal ketimbang sekadar membayar jasa pawang hujan… Teknologi tidak gratis.
(Satrio Arismunandar)
Foto: Istimewa