Empat belas tahun semenjak reformasi 1998, diskriminasi yang terjadi di Indonesia lebih bersifat primordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideol
Salah satu konflik sosial di Indonesia |
Ini dipaparkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, dalam Webinar di Jakarta (9/6), yang membahas penguatan budaya damai di Sulawesi Utara (Sulut). Denny mengutip hasil riset Yayasan Denny JA Untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi (2012), dimana identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi.
Selama 14 tahun pascareformasi, ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu, kekerasan paling banyak terjadi karena berlatar agama/paham agama (65 persen). “Sisanya, berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (10 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen),” ucap Denny.
Yayasan Denny JA mendata, setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk 14 tahun pascareformasi. Konflik Ambon berada di posisi teratas, kemudian diikuti konflik Sampit, kerusuhan Mei 1998, pengungsian Ahmadiyah di Mataram, dan konflik Lampung Selatan.
Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita. Lima konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara Indonesia.
Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan berlatar agama yang menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur (ma).
Foto: Istimewa