Kita harus menerapkan zero toleransi terhadap kekerasan seksual di pesantren. Karena kontrol internal tampaknya belum berjalan, maka perlu dihadirkan
![]() |
Perlu pengawasan ekstra di pesantren untuk santri |
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, Satupena, saat Webinar di Jakarta (4/8).
Webinar mengulas kasus-kasus kekerasan seksual, yang mewarnai atau terjadi dalam lingkungan pesantren.
Menurut Denny, kontrol eksternal itu pertama dari keluarga santri itu sendiri. Keluarga santri harus mem-brifing anak-anaknya, untuk hati-hati di pesantren karena ada potensi kekerasan seksual.
“Santri itu harus diajari bahwa dia punya hak untuk menolak kekerasan seksual. Pendidikan seksual juga perlu diberikan pada santri di usia dini,” ujar Denny.
Kedua, kontrol dari pemerintah. “Petugas perlu menjadwalkan kunjungan reguler ke pesantren. Wakil pemerintah bersilaturahmi dan membuka dialog dengan check list yang disiapkan, untuk deteksi dini jika ada kekerasan seksual,” lanjut Denny.
Ketiga, kontrol dari masyarakat sendiri. “Civil society perlu hadir untuk perlindungan dan advokasi di pesantren,” saran Denny.
Jadi, tutur Denny, ada lima penyebab utama hadirnya pelecehan seksual. Pertama, ketidaksetaraan relasi, biasanya antara guru dan murid. Ada pihak yang memiliki kekuasaan dominan atas korban, misalnya, guru di pesantren, anak kiai.
Kedua, adanya budaya yang berimplikasi ke penerimaan terhadap kekerasan seksual. Itu dianggap sudah biasa, jangan terlalu dipikirkan, dan sebagainya. Maka tindakan kekerasan seksual ini terjadi berulang kali.
![]() |
Denny JA |
Keempat, buruknya prosedur dan kebijakan menangani kekerasan seksual di pesantren. Kasus ditutupi. Belum ada prosedur standar tentang apa yang mesti dikerjakan untuk menghindari kekerasan seksual. Belum ditata prosedur untuk mengawasi dan deteksi sedini mungkin.
Kelima, stres yang berlebihan (excessive stress). Si pelaku mengalami stres berlebihan sehingga lalu melampiaskannya ke korban di pesantren (dh).
Foto: Istimewap