Terkait isu korupsi di perguruan tinggi negeri dan kasus di Universitas Lampung (Unila) yang baru-baru ini terjadi, sedikit banyak hal itu berkaitan d
Kasus di Unila menjadi tantangan transparansi di perguruan tinggi |
Hal itu diutarakan Prof Dr Abdul Mu’ti, M.Ed, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, dalam Webinar di Jakarta (8/9). Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi yang menghadirkan Abdul Mu’ti sebagai narasumber membahas topik tentang Menjaga Marwah Perguruan Tinggi. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.
Abdul Mu’ti menuturkan, sudah jadi rahasia umum bahwa jika ingin terpilih menjadi rektor, maka harus melakukan lobi-lobi. Bukan cuma lobi di tingkat universitas, tetapi juga di tingkat-tingkat atas. Bahkan sampai ke partai politik segala.
Rektor terpilih kemudian disibukkan dengan hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan akademisi. Ada dorongan yang sangat kuat untuk mencari pemasukan uang yang lebih banyak. Rektor juga menjadi kuasa pengguna anggaran.
Maka, menurut usulan Abdul Mu’ti, jabatan rektor sebaiknya jangan dibatasi hanya untuk dosen atau akademisi, atau guru besar, seperti yang saat ini berlaku. Ia membayangkan jabatan rektor itu seperti CEO atau direktur BUMN, yang bisa mengurus bagaimana memberi pendapatan yang lebih besar pada perguruan tinggi bersangkutan.
Gagasan Abdul Mu’ti tentang perlunya mengubah cara pemilihan rektor, didukung oleh sebagian peserta webinar. Seperti Prof Dr Multamia RMT Lauder, SS, Mse, DEA dan Prof Dr Ir Yusran Jusuf, MSi.
Prof. Dr. Abdul Mu'ti |
Dalam diskusi, beberapa peserta webinar menyesalkan surutnya idealisme para penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi, tidak seperti di zaman dulu. Kini yang berkembang justru mentalitas hedonisme, bukan cuma di kalangan mahasiswa, tetapi juga staf pengajar (dh).
Foto: Istimewa