WartaMerdeka
![]() |
Sarana rumah ibadah sebaiknya dihindari untuk penggunaan politik praktis |
Satrio mengingatkan, jangan sampai Pemilu 2024 mengulang atau meniru praktik-praktik politik negatif yang diterapkan di Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia melihat kasus di Pilkada DKI pada 14 April 2017. Waktu itu Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat diusir dari Masjid Al-Atiq, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, seusai salat Jumat.
“Masjid itu kan Rumah Allah, tempat semua orang Islam –tanpa memandang afiliasi politik dan kepartaian—seharusnya bisa beribadah dengan bebas, aman dan damai. Kok bisa ada perilaku mengusir sesama jamaah Muslim,” ujar Satrio.
Hal itu mengindikasikan masjid sebagai sarana ibadah telah digunakan oleh orang-orang tertentu untuk tujuan politik. “Itu bentuk politisasi masjid, pemanfaatan masjid untuk kepentingan-kepentingan politik praktis,” jelas Satrio.
Menurutnya, rumah ibadah seperti masjid, gereja, kelenteng dan sebagainya harus steril dari praktik dukung-mendukung partai atau kandidat, karena berpotensi memecah belah masyarakat.
“Dampaknya sangat merusak. Apalagi jika secara simplistis digambarkan, seolah-olah dengan mendukung kandidat tertentu lebih dekat ke surga. Sedangkan pendukung kandidat lain dituding lebih dekat ke neraka. Ini contoh ekstrem,” tambahnya.
![]() |
Satrio Arismunandar |
Jokowi waktu itu mengatakan, dua pemilu ke depan harus dapat menjadi tahapan konsolidasi demokrasi. Dimana kelembagaan Pemilu sudah semakin kuat, sehingga proses penyelenggaraan pemilu juga turut disederhanakan (ma).
Foto: abri