Dalam mengajarkan agama, sekolah atau lembaga pendidikan kita justru mendorong sikap keberagamaan eksklusif. Tidak inklusif.
Pendidikan agama yang sekarang cenderung eksklusif |
Hal itu dinyatakan Dr. Budhy Munawar Rachman, dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, saat Webinar di Jakarta (19/1). 19
Webinar diadakan Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Budhy menuturkan, para aktivis kebebasan beragama sudah lama menyadari soal eksklusifisme beragama itu memang dikembangkan di sekolah.
"Pertama, keberagamaan yang eksklusif, dan kemudian keberagamaan yang intoleran,” terangnya.
“Jadi melatih sikap inklusif sejak usia muda itu merupakan tantangan besar, karena ini harus betul-betul terpadu atau tersistem,” jelas Budhy.
Budhy juga menyinggung cara pengajaran agama di sekolah secara sendiri-sendiri. Siswa yang Muslim mendapat pendidikan agama Islam, siswa Kristen mendapat pelajaran agama Kristen, dan seterusnya.
Tetapi dalam kurikulum pendidikan agama itu tidak ada jembatan. Misalnya, jembatan antara pelajaran agama Islam dan pelajaran agama Kristen.
“Bahkan, tidak didorong untuk membuat jembatan,” bahasnya.
Jadi, walaupun sekarang di sekolah modern ada moving class, tetapi sebenarnya tidak pernah ada perjumpaan di antara para siswa itu.
“Oleh karena itu, saya selalu mengagumi sekolah-sekolah yang mengadakan perjumpaan. Misalnya, mengadakan festival agama-agama,” puji Budhy.
Ini festival di mana semua siswa harus hadir di kelas-kelas semua agama, sehingga mendapat penjelasan ringkas: agama Islam itu apa, agama Kristen itu apa, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Dan kemudian siswa yang bukan beragama itu juga bisa bertanya.