Banyak orang Jawa sekarang jiwanya terbelah. Di satu sisi, kebenaran mengikuti apa yang diajarkan di pendidikan, yang bisa dibilang mengajarkan Wester
![]() |
Nilai tradisi Jawa mendapat tantangan berat di masa kini |
Ini diutarakan Slamet Hendro Kusumo, Ketua Dewan Penasihat Satupena Jawa Timur, saat webinar tentang “Laku Utama Orang Jawa untuk Mencapai Kebenaran” di Jakarta (2/3). Webinar diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.
Slamet menyatakan, hadirnya teknologi dan pendidikan memang sangat mempengaruhi. Sehingga gaya-gaya hidup hedonis pun memasuki ruang orang Jawa kontemporer. Tetapi kalau di desa-desa, nilai lama masih kental, walau ada pergeseran akibat teknologi.
“Misalnya, acara selametan yang tadinya menggunakan daun, anyaman bambu, sekarang sudah berubah menjadi memakai plastik. Inilah metamorfosis yang terjadi di masyarakat Jawa,” tuturnya. Tetapi ada juga fenomena kontemporer yang menggembirakan.
Sekarang ada gerakan-gerakan, ketika para cendekiawan sudah memiliki kesadaran baru. “Di kampus-kampus, mereka belajar kembali adat dan nilai-nilai budaya Jawa, yang sudah direkam dengan paradigma baru,” sambung Slamet.
Meski tidak menyebut diri organisasi atau klan, mereka memakai jaringan. Sekarang cara belajarnya tidak ada mentoring. Beda dengan (aliran kebatinan) Pengestu, Sejati, dan sebagainya. Fenomena ini cukup membahagiakan, sehingga ke depan bisa mengisi aspek-aspek, di mana strategi kebudayaan Jawa itu akan bisa memasuki daerah-daerah milenial.
![]() |
Slamet Hendro Kusumo |
“Apakah bahasa Jawa, filsafat Jawa, dan sebagainya bisa diwariskan ke kaum milenial? Ini PR yang penting direnungkan bersama,” kritik Slamet. Karena, tradisi atau filsafat Jawa itu selalu mengutamakan rasa. “Dalam rasa itu, orang Jawa menjalankan tata pikir dan tata laku. Pikiran, hati dan perilakunya ditata,” ungkap Slamet (dh).
Foto: Istimewa