Jakarta (WartaMerdeka) – Pemerintah Indonesia telah mencatat sejarah sebagai negara kepulauan pertama menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok, sebagai bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) diadopsi IMO (International Maritime Organization) dan akan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 dalam publikasi IMO COLREG.2/Circular.74 dan SN.1/Circular, 14 Juni 2019. Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL/Kapushidrosal Laksda TNI Harjo Susmoro di Mako Pushidrosal, Jakarta (29/6), menyampaikan bahwa penetapan TSS di perairan Selat Sunda dan Selat Lombok akan meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan navigasi pelayaran serta perlindungan lingkungan laut disekitarnya. “Selat Sunda dan Selat Lombok adalah bagian dari empat choke-point yang terletak di Indonesia selain Selat Malaka dan Selat Makassar sebagai jalur pelayaran internasional dari sembilan choke-point yang ada dunia. Selain itu, keberadaan TSS akan mempermudah pemantauan lalu lintas pelayaran yang melewati dua dari sembilan choke-point dunia tersebut,” ucap Kapushidrosal.
Tim Pushidrosal saat survei di Selat Sunda |
Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL/Kapushidrosal Laksda TNI Harjo Susmoro di Mako Pushidrosal, Jakarta (29/6), menyampaikan bahwa penetapan TSS di perairan Selat Sunda dan Selat Lombok akan meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan navigasi pelayaran serta perlindungan lingkungan laut disekitarnya.
“Selat Sunda dan Selat Lombok adalah bagian dari empat choke-point yang terletak di Indonesia selain Selat Malaka dan Selat Makassar sebagai jalur pelayaran internasional dari sembilan choke-point yang ada dunia. Selain itu, keberadaan TSS akan mempermudah pemantauan lalu lintas pelayaran yang melewati dua dari sembilan choke-point dunia tersebut,” ucap Kapushidrosal.
Kapushidrosal menjelaskan, sebelum diadopsinya TSS oleh IMO pada Sidang sesi ke-101 Maritime Safety Committee pada 10 Juni 2019, Pushidrosal telah mempersiapkan rencana TSS dengan survei hidrografi pada 2016 hingga 2017 di Selat Sunda dan Selat Lombok.
“Survei tersebut untuk mendapatkan cakupan penuh batimetri dan data hidro-oseanografi lainnya yang diperlukan menggunakan metode dan peralatan modern dari KRI RIGEL 933 dan KRI SPICA 934, tak hanya untuk bahan studi dan desain TSS, tetapi juga untuk memberikan tingkat kepercayaan tinggi terhadap navigasi internasional di kedua Selat tersebut,” jelasnya.
Kapushidrosal menambahkan, cakupan 100% dari survei hidrografi dilakukan untuk memberi kategori ketelitian tinggi yang dibutuhkan untuk navigasi yaitu Category Zone of Confidence (CATZOC) serta mendukung data guna proses pengkajian dan desain TSS. Salah satu kajian sebagai pra-syarat proposal ke IMO dibuat dalam bentuk analisis risiko TSS memakai IWRAP (IALA Water Risk Assessment Program), dilaksanakan tim teknis delegasi Indonesia terdiri dari K/L terkait khususnya Ditjen Perhubungan Laut dan telah disetujui IMO dhi Sub-Committee Navigation, Communication, Search and Rescue pada Januari 2019.
Terkait TSS, Pushidrosal telah menerbitkan Berita Pelaut Indonesia (Notices to Mariners) ID NM Week 40 Oktober 2019 dan juga Peta Laut Indonesia edisi baru baik peta kertas maupun elektronik (Electronic Navigational Charts ) nomor 170 dan 291.
Dari data distribusi peta laut yang ada di Pushidrosal sampai dengan Mei 2020, tercatat lebih dari 1500 kapal-kapal di seluruh dunia telah menggunakan peta laut edisi baru tersebut. Ini menunjukan, dunia telah menyadari TSS Selat Sunda dan Lombok segera berlaku dalam waktu dekat.
Dan, Pushidrosal juga telah membantu Ditjen Perhubungan Laut dalam rangka kesiapan operasional VTS (Vessel Traffic Service) dengan membantu instalasi peta elektronik serta mentoring pengetahuan nautika, khususnya membaca peta laut kepada operator VTS di Selat Sunda dan Lombok (ma).