Terjadinya pergeseran kekuasan/kekuatan di Asia Tengah dengan kemenangan Taliban di Afganistan, hendaknya dicermati dengan sikap politik luar negeri I
Perimbangan kekuatan di Asia Tengah pasca kemenangan Taliban perlu dicermati dengan jeli |
Ini diutarakan Dr. Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute, dalam Webinar Obrolan Hati Pena bertema “Tata Dunia di Era Pandemik: Paradigma Geopolitik dan Diplomasi Internasional” di Jakarta (5/9/2021).
Nara sumber lain dalam diskusi itu adalah Yon Machmudi, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia. Ikut memberi tanggapan, Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA, Denny JA, Ph.D.
Hendrajit yang mantan wartawan Tabloid DeTik memberi contoh China dalam menjabarkan politik luar negerinya. Politik luar negeri China bertumpu pada “Silk Road Maritime Initiatives” sebagai Strategi Nasionalnya.
Mengutip pidato Bung Karno dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, sambung Hendrajit, telah disinggung lintasan Jalur Sutra (Silk Road), yang digambarkan sebagai garis hidup imperialisme. Maka, rangkaian geografis tersebut oleh Bung Karno ditransformasikan menjadi lintasan Asia-Afrika, untuk mengikat kerjasama strategis negara-negara di kawasan itu. “Meski temanya adalah anti-imperialisme dan kolonialisme, namun skemanya adalah politik luar negeri berbasis geopolitik,” papar Hendrajit.
Hendrajit menyarankan, inilah kerangka pemikiran dan pandangan yang harus jadi landasan kebijakan strategis luar negeri Indonesia. Yakni, merespons dinamika dan pergeseran sentra geopolitik di Asia-Pasifik, pasca kemenangan Taliban di Afganistan. Dan, pendekatan itu perlu pula diterapkan merespons tren yang memanas di Laut China Selatan, Asia Tenggara atau bahkan di Semenanjung Korea, Asia Timur.
Karena, sebut Hendrajit, kemenangan Taliban merebut Kabul, bisa menjadi katalisator terciptanya keseimbangan Kekuatan Internasional Baru di Asia Selatan maupun Asia Tengah. Perkembangan baru ini senyatanya lebih menguntungkan poros China-Rusia-Iran dibandingkan poros AS-NATO (dh).
Foto: Istimewa