Masyarakat kita tampaknya baru berada di tahap-tahap awal dalam merespon keberagaman. Mereka belum sampai ke tahap pluralisme. Hal itu dikatakan Satri
![]() |
Belajar keberagaman harus dibiasakan dalam keseharian |
Satrio mengutip Walzer (1999) dan Frost (2017), ada lima tahap dalam merespon keberagaman dan ketimpangan relasi kuasa. Tahapan ini juga sudah diungkapkan oleh Dody Wibowo, pegiat sosial dari Yayasan Sukma.
Tahap terbawah dan paling awal adalah toleransi. Ini kondisi minimal bisa dilakukan masyarakat, dan bukan kondisi yang ideal. “Dalam toleransi masih ada unsur ketidaksukaan dan merasa dirinya paling benar,” ujar Satrio. Tetapi pihak yang merasa paling benar itu memilih tidak menggunakan kuasa yang dimilikinya untuk melenyapkan yang lain. Dia membiarkan perbedaan itu tetap ada.
Tahap kedua ialah ketidakacuhan. Ini keadaan ketika seseorang atau kelompok tidak merasa terganggu dengan perbedaan yang ada, dan memilih tidak memedulikan ataupun membahasnya. “Setingkat di atasnya, atau tahap ketiga, ialah tahap ketika seseorang mengakui dan menghargai perbedaan yang dimiliki semua individu,” tambahnya.
Pada tahap keempat, seseorang bukan hanya mengakui dan menghargai perbedaan, tetapi juga merasa perlu mempelajari perbedaan tersebut. “Di tahap keempat ini, orang bersikap terbuka dan menunjukkan antusiasmenya untuk mengenal dan memahami hal-hal yang dia anggap berbeda atau sebelumnya dia anggap salah,” lanjut Satrio. Tapi, belum muncul kerelaan untuk ikut membela.
![]() |
Perayaan Imlek menjadi contoh untuk belajar menerima keberagaman |
Foto: abri